Apa Itu Blockchain? Pengertian, Cara Kerja, dan Fungsinya

Ilustrasi visual rantai digital blockchain yang menyala dalam jaringan terdistribusi tanpa pusat

Istilah blockchain sering muncul dalam pembahasan soal Web3, kripto, dan internet generasi baru. Tapi buat kebanyakan orang, kata ini masih terkesan teknis dan jauh dari keseharian.

Padahal, blockchain bukan sekadar teknologi canggih. Dia adalah fondasi yang bikin Web3 bisa berjalan tanpa pusat, tanpa izin, dan tanpa perantara.

Kalau kamu sudah baca artikel Apa Itu Web3, kamu tahu Web3 butuh sistem yang terbuka dan bisa diakses siapa pun. Nah, blockchain adalah dasar dari semua itu.

Artikel ini akan bantu kamu memahami apa itu blockchain, cara kerjanya, dan kenapa dia penting banget buat masa depan internet.

Apa itu blockchain?

Diagram sederhana blok-blok digital yang membentuk rantai blockchain
Diagram sederhana blok-blok digital yang membentuk rantai blockchain

Bayangin kamu punya buku catatan yang dipakai rame-rame sama ribuan orang. Tapi setiap orang cuma boleh nambah catatan baru, dan nggak ada yang bisa ngapus atau ngeralat yang udah ditulis. Setiap orang juga punya salinan buku yang sama. Nah, setiap kali ada catatan baru, semuanya bareng-bareng nyalin, jadi isi buku itu selalu sinkron.

Bayangin setiap catatan kamu itu ditaruh di satu halaman khusus, dikasih cap waktu, dan dikunci rapat. Halaman ini disebut blok. Dan setiap halaman baru harus nyambung ke halaman sebelumnya, bikin rantai logis dan urut. Nah, rantai inilah yang kita sebut sebagai blockchain.

Blockchain adalah sistem pencatatan digital yang dijalankan oleh banyak komputer yang tersebar di seluruh dunia. Komputer-komputer ini disebut node, dan mereka bisa dijalankan siapa pun: individu, organisasi, atau komunitas.

Data baru dikumpulkan dalam satu paket bernama blok. Blok ini berisi informasi seperti transaksi, waktu kejadian, dan kode unik. Setelah blok terkumpul, dia dikunci dan disambungkan ke blok sebelumnya, membentuk rantai. Karena setiap node punya salinan yang sama, kalau ada yang coba curang atau ubah data, jaringan langsung bisa mendeteksi dan menolaknya.

Kenapa harus nggak bisa diubah dan terdistribusi?

Perbandingan antara sistem server pusat (centralized) dan jaringan blockchain terdistribusi (decentralized)
Perbandingan antara sistem server pusat (centralized) dan jaringan blockchain terdistribusi (decentralized)

Sistem biasa biasanya simpan data di satu server. Kalau server itu rusak atau diserang, data bisa hilang atau dimanipulasi. Blockchain menghindari itu dengan dua hal: terdistribusi dan tidak bisa diubah.

Data di blockchain tersebar di banyak komputer. Kalau satu mati, salinan lainnya tetap jalan. Dan begitu data ditulis, dia dikunci secara kriptografis, jadi nggak bisa dihapus atau diedit. Inilah yang bikin blockchain disebut sistem yang transparan dan tahan manipulasi.

Dalam sistem Web2, kepercayaan dibangun lewat janji dan kontrak. Di blockchain, kepercayaan dibangun lewat struktur teknis yang tidak bisa dimanipulasi.

Gimana cara kerja blockchain?

Kalau kamu bertanya apa itu blockchain dan gimana cara kerjanya, step-by-step-nya kira-kira begini:

  1. Kamu kirim token ke temanmu lewat dApp.
  2. Transaksi disiarkan ke seluruh jaringan blockchain.
  3. Semua node ngecek: saldo cukup? tandatangan sah? alamat tujuan benar?
  4. Kalau semua oke, transaksi dikumpulkan ke dalam blok.
  5. Setelah blok penuh, dia dikunci (dengan hash), lalu disambung ke blok sebelumnya.
  6. Semua node langsung memperbarui salinan masing-masing.
Diagram alur proses transaksi blockchain dari kirim token hingga tersimpan di jaringan.
Diagram alur proses transaksi blockchain dari kirim token hingga tersimpan di jaringan.

Kalau salah satu node mati? Nggak masalah. Ribuan salinan lain tetap aktif. Begitu node nyala lagi, dia otomatis nyinkronin data terbaru.

Kalau seluruh internet dunia mati? Ya semua sistem digital juga ikut mati. Tapi blockchain lebih siap: salinannya tersebar luas, dan banyak yang simpan data blockchain secara lokal.

Bahkan sebagian orang menyimpan salinan blockchain secara offline dengan menjalankan full node. Artinya, perangkat lunak mengunduh seluruh riwayat blockchain dari blok pertama sampai blok terbaru. Jadi walau sedang offline, mereka tetap punya data lengkap.

Siapa yang nentuin data itu valid?

Blockchain pakai sistem konsensus. Artinya, semua node harus sepakat dulu sebelum data dianggap sah dan dicatat.

Dua metode paling umum yang dipakai jaringan blockchain untuk mencapai kesepakatan disebut Proof of Work (PoW) dan Proof of Stake (PoS). Keduanya adalah cara supaya semua komputer di jaringan bisa sepakat soal transaksi mana yang sah, tanpa perlu bos atau pusat data.

Proof of Work (PoW)

PoW ini bekerja seperti perlombaan. Semua komputer di jaringan berlomba-lomba memecahkan soal matematika yang sangat sulit. Siapa yang berhasil duluan, berhak mencatat transaksi ke dalam blok. Tapi memecahkan soal ini butuh banyak energi dan komputer canggih.

Tujuannya: bikin curang jadi mahal. Kalau mau bohong, kamu harus keluarin tenaga besar dulu, dan bisa rugi sendiri. Metode ini yang dipakai sama Bitcoin.

Pelajari selengkapnya: Apa Itu Proof of Work (PoW)?

Proof of Stake (PoS)

PoS justru pakai pendekatan ‘taruhan’. Kamu harus mengunci sejumlah token sebagai jaminan. Kalau kamu ikut validasi transaksi dan terbukti jujur, kamu dapet reward.

Tapi kalau bohong atau nyoba curang, sebagian token yang kamu kunci bisa diambil sebagai penalti. Ini bikin pengguna punya insentif buat tetap jujur. Contohnya Ethereum (sejak transisi ke Ethereum 2.0).

Perbandingan visual Proof of Work vs Proof of Stake dalam sistem blockchain.
Perbandingan visual Proof of Work vs Proof of Stake dalam sistem blockchain.

Kenapa dua metode ini yang paling banyak dipakai?

Karena keduanya mencoba menjawab masalah inti dari sistem tanpa pusat: gimana kita bisa yakin data itu valid, tanpa pihak ketiga yang memutuskan?

Tapi bukan berarti sistem ini sempurna. Di PoW, yang punya komputer besar dan listrik murah lebih berpeluang menang. Di PoS, yang punya banyak token bisa punya pengaruh lebih besar. Dalam dua-duanya, modal besar masih punya keuntungan.

Makanya muncul pertanyaan: “jadi mana yang lebih baik?”

Jawabannya: tergantung tujuan jaringannya. Kalau utamakan keamanan dan tahan sensor, banyak yang pilih PoW. Kalau mau efisiensi dan lebih hemat energi, PoS jadi pilihan.

Tapi keduanya masih dalam eksperimen besar. Komunitas Web3 masih terus nyari sistem konsensus yang lebih inklusif, adil, dan nggak cuma menguntungkan yang punya modal.

Intinya: sistem konsensus adalah upaya bikin kejujuran lebih untung daripada manipulasi. Tapi siapa yang bisa ikut dan seberapa besar pengaruh mereka masih jadi tantangan yang harus dijawab bareng-bareng.

Apa bedanya sama database biasa?

AspekBlockchainDatabase Tradisional
AksesTerbuka untuk siapa punBiasanya tertutup
PengelolaDikelola komunitasDikelola admin pusat
Edit dataTidak bisa diubahBisa diedit
ValidasiPerlu konsensus kolektif antar nodeCukup 1 pihak memutuskan
KetahananTahan gangguan karena salinan tersebarRentan rusak kalau server bermasalah

Blockchain bukan cuma sistem nyatet data. Tapi sistem bangun kepercayaan.

Apa fungsi blockchain buat Web3?

Web3 butuh sistem yang bisa dibuktikan, bukan cuma janji transparansi. Blockchain memberikan itu.

  • Punya NFT? Bukti kepemilikannya dicatat di blockchain.
  • Ikut voting DAO? Hasilnya dihitung dan dicatat secara terbuka.
  • Bangun reputasi digital? Jejak kontribusi kamu bisa dilihat dari data on-chain.

Semua ini nggak butuh izin platform mana pun. Karena data, identitas, dan aksi kamu dicatat di sistem terbuka, bisa dicek siapa pun, dan nggak bisa dipalsukan.

Tantangannya apa aja?

Meskipun blockchain digadang-gadang sebagai teknologi masa depan yang bisa membuat sistem lebih terbuka dan adil, kenyataannya implementasi dan adopsinya belum sempurna.

Masih banyak tantangan mendasar yang membuat blockchain sulit digunakan secara luas, terutama oleh masyarakat umum. Tantangan ini muncul dari sisi teknis, desain, hingga legalitas.

Untuk benar-benar memahami potensi dan keterbatasan blockchain, kita perlu ngelihat tantangan-tantangan ini secara mendalam, bukan sekadar daftar masalah, tapi juga akar penyebabnya.

Lalu, apa saja tantangan yang dihadapi komunitas Web3 saat ini?

1. Jaringan lambat dan mahal

Blockchain dirancang untuk aman, transparan, dan terdesentralisasi. Tapi demi mencapai semua itu, ada harga yang harus dibayar, yaitu waktu dan biaya. Ini karena setiap transaksi harus diverifikasi oleh banyak node.

Di jaringan besar seperti Ethereum, ini bisa memakan waktu dan biaya besar, apalagi saat jaringan sedang sibuk. Biaya ini disebut “gas fee”.

Semakin ramai jaringan, semakin mahal gas fee-nya karena semua orang rebutan ruang di blok.

Ini bukan bug, tapi fitur yang lahir dari desain yang mengutamakan keamanan dan kejujuran kolektif. Namun, dampaknya nyata, di mana orang awam jadi segan mencoba karena merasa mahal dan rumit. Bahkan aktivitas sederhana seperti kirim token bisa terasa sulit.

2. Belum semua ramah pengguna

Banyak dApp, wallet, dan protokol Web3 dibangun oleh engineer, bukan oleh designer. Akibatnya, pengalaman pengguna (UX) sering kali teknis dan membingungkan. Misalnya:

  • Frasa seperti “seed phrase”, “gas fee”, “sign transaction” belum dijelaskan dengan bahasa sehari-hari yang bisa dimengerti oleh semua kalangan.
  • Wallet sering minta pengguna simpan frasa pemulihan 12 kata tanpa bantuan atau konteks.
  • Navigasi antarmuka terasa teknikal, bahkan untuk hal sesederhana menghubungkan wallet.

Banyak orang yang baru terjun dan mengenal Web3 merasa cemas, takut salah klik, dan akhirnya mundur. Inilah yang menjadi hambatan adopsi massal.

3. Aturan hukum belum jelas

Blockchain dan Web3 bersifat global. Tapi regulasi bersifat lokal. Ini bikin friksi antara sistem yang terbuka dengan sistem hukum yang tertutup.

Banyak negara belum punya definisi hukum yang jelas soal:

  • Apakah token itu aset, surat berharga, atau sekadar akses?
  • Apakah DAO bisa dianggap badan hukum?
  • Bagaimana pajak diterapkan untuk transaksi on-chain?

Ketidakjelasan ini bikin pelaku industri ragu melangkah. Investor takut risiko hukum. Inovator bingung mana yang boleh, mana yang tidak.

Tantangan ini bukan halangan mutlak. Tapi harus dihadapi bareng-bareng oleh komunitas, builder, dan regulator. Karena tanpa kepastian hukum, Web3 nggak bisa diadopsi massal dengan aman.

Lalu apa solusinya?

Masalah-masalah di blockchain bukan tanpa jalan keluar. Justru, komunitas Web3 aktif banget nyari dan ngetes berbagai pendekatan. Ini bukan solusi instan, tapi proses kolektif yang terus berkembang:

1. Layer 2

Ini adalah protokol tambahan di atas blockchain utama (Layer 1) seperti Ethereum. Tujuannya bikin transaksi jauh lebih cepat dan murah, tanpa kompromi keamanan.

Contohnya: Arbitrum, Optimism, dan zkSync.

Proyek-proyek tersebut udah dipakai secara nyata oleh berbagai aplikasi Web3 seperti Uniswap dan Lens Protocol. To-do besar mereka: makin banyak integrasi dApp dan interoperabilitas antar Layer 2.

Ikuti course: Blockchain, Token, Layer 1 & 2

2. Desain dan edukasi

Banyak builder mulai sadar bahwa Web3 nggak bisa cuma buat developer. User experience (UX) makin disederhanakan: dari wallet yang auto-backup seed phrase, dApp yang nggak butuh banyak klik, sampai interface yang lebih manusiawi.

Komunitas juga aktif bikin konten edukatif kayak Bankless, LearnWeb3, Layer3, dan Exrar sendiri. To-do ke depan tentunya memastikan bahwa semua istilah teknis bisa dijelaskan pakai bahasa sehari-hari, bahkan buat anak kecil sekalipun.

Ikuti course: Web3 UX Designer

3. Dialog hukum

Beberapa negara udah mulai bikin ruang eksperimen legal, kayak sandbox regulasi. Contoh: Jepang, Uni Emirat Arab, dan Singapura buka jalur lisensi khusus buat proyek blockchain. Uni Eropa juga udah bikin kerangka MiCA untuk aset digital.

Di Indonesia, Bappebti udah mulai atur aset kripto, tapi belum menyentuh DAO dan NFT secara detail. To-do-nya saat ini adalah kolaborasi antara regulator, komunitas, dan pelaku industri buat bikin kebijakan yang adaptif dan nggak matiin inovasi.

Jadi meskipun tantangannya banyak, solusi-solusinya juga udah jalan. Tinggal seberapa berani kita ikut ambil bagian dan bantu ngejelasin teknologi ini ke lebih banyak orang.

Ikuti course: Web3 Legal

Penutup

Blockchain bukan cuma pondasi Web3. Dia adalah refleksi dari cara baru manusia membangun kepercayaan. Bukan lewat janji dan aturan tertulis dari otoritas pusat, tapi lewat struktur teknis yang bisa diverifikasi semua orang, tanpa izin.

Di tengah internet yang makin dikendalikan algoritma, server pusat, dan sistem tertutup, blockchain datang menawarkan alternatif berupa catatan yang nggak bisa dimanipulasi, kepemilikan yang nggak bisa dicabut sepihak, dan interaksi yang bisa berjalan tanpa perlu percaya dulu. Cukup verifikasi.

Banyak orang mungkin nggak sadar mereka pakai sistem berbasis blockchain saat mint NFT, ikut voting DAO, atau dapet reputasi di komunitas on-chain. Tapi justru itu bukti kekuatan sebenarnya dari teknologi yang bekerja di balik layar, tanpa kamu harus jadi ahli teknis untuk bisa manfaatin.

Kalau kamu benar-benar pengen ngerti arah masa depan internet, dan pengen ambil bagian di dalamnya, memahami blockchain bukan sekadar penting. Tapi wajib. Karena semua dimulai dari sini.

Scroll to Top