Negara bilang: semua udah digital.
Pelayanan publik udah online.
Administrasi udah canggih.
Data udah terintegrasi.
Tapi lo coba urus KTP, BPJS, SIM, surat tanah, pajak, bantuan, legalisir, laporan begal, komplain PLN — semuanya masih minta sabar, isi form manual, fotokopi bolak-balik, dan harus ketemu sama orang-orang yang nggak ngerti esensi dari menjadi pelayan publik.
Digitalisasinya maju,
tapi manusianya masih tunduk.
Sistemnya canggih, tapi tetap satu arah.
Dan rakyat?
Cuma disuruh daftar.
Disuruh login. Disuruh ngerti.
Tapi gak pernah ditanya:
“Lo pengen sistem ini kayak gimana?”
Yang dibangun adalah infrastruktur. Tapi rakyatnya gak pernah diajak bangun bareng
Sistem digital publik kita hari ini dibentuk top-down. Dari pusat, dari kementerian, dari pejabat — bukan dari kebutuhan rakyat.
Bukan cuma soal teknis.
Ini soal kuasa.
Karena setiap sistem digital publik yang dibangun tanpa rakyat, ujung-ujungnya jadi alat kontrol.
Mereka bangun dashboard. Tapi rakyat tetap buta
- Kita disuruh masuk aplikasi, tapi gak bisa akses keputusan
- Kita disuruh bikin akun, tapi gak bisa ikut menyusun alur
- Kita disuruh setor data, tapi gak bisa lihat ke mana datanya dipakai
Kita dikasih “akses”. Tapi akses buat ngisi, bukan buat nentuin.
Coba lihat kenyataannya:
- Ada sistem bansos digital, tapi penerima tetap misterius
- Ada aplikasi keluhan publik, tapi isinya cuma auto-reply
- Ada e-budgeting, tapi laporan keuangannya gak bisa dicek log-nya
- Ada integrasi NIK, tapi gak bisa tau siapa yang lihat atau pakai data lo
- Ada laporan digital, tapi ditindak kalau rame di medsos, bukan karena sistemnya tanggap
Digitalisasi di sistem lama cuma nambah lapisan ilusi.
Yang dulu disuruh nulis, sekarang disuruh klik. Tapi tetap gak punya kuasa.
Sistem yang katanya digital, dibikin seperti panggung modern. Tapi ruang kontrolnya tetap tertutup
Rakyat cuma dikasih peran sebagai pengguna.
Bukan pembentuk.
Bukan pengarah.
Apalagi pemilik.
Pernah lo lihat proyek sistem informasi desa yang datanya diisi oleh warga? Pernah lo lihat aplikasi pemerintah yang dibangun berdasarkan diskusi terbuka?
Jawabannya: hampir gak pernah.
Karena digitalisasi hari ini bukan lahir dari kebutuhan publik. Tapi dari tender, vendor, dan target kementerian.
Dan karena itu, semua yang dibangun:
- Dipakai rakyat, tapi gak dikendalikan rakyat
- Dibiayai rakyat, tapi gak diawasi rakyat
- Berdampak ke rakyat, tapi gak pernah bisa direvisi rakyat
Infrastruktur publik yang tertutup = otoritarianisme model baru
Sistem yang kita punya sekarang ngasih kesan:
“Udah online kok.”
“Udah transparan kok.”
“Semua ada di website kok.”
Tapi faktanya?
Nggak ada satupun tombol “revisi”. Nggak ada satupun ruang deliberasi. Nggak ada satupun mekanisme koreksi kolektif.
Yang ada cuma alur yang udah ditentuin. Dan kalau sistem itu gagal, jawabannya bukan evaluasi, tapi disuruh sabar.
Dan yang paling serem: semua sistem digital ini makin kuat. Tapi gak pernah bisa dibantah
Semakin canggih sistemnya,
semakin jauh jarak antara rakyat dan pengambil keputusan.
Semakin banyak aplikasi publik yang dipakai,
semakin minim akuntabilitas karena semua dibilang: “Itu kerja sistem.”
Padahal sistem gak jalan sendiri.
Sistem dibentuk.
Dan kalau dibentuk tanpa rakyat, maka rakyat akan selalu jadi objek — bukan subjek.
Lo pikir ini cuma soal UX dan server? Enggak. Ini soal struktur kekuasaan
Karena sistem digital publik hari ini udah jadi “birokrasi yang gak bisa dilawan.” Dan itu lebih bahaya dari birokrasi konvensional.
Kenapa? Karena:
- Birokrasi konvensional masih bisa lo temui dan komplain
- Sistem digital? Lo bahkan gak tahu siapa yang pegang backend-nya
Sekali sistem ini salah input, lo bisa hilang hak. Tapi gak bisa koreksi.
Sekali sistem ini salah flagging, lo bisa diblokir bantuan. Tapi gak bisa banding.
Sekali sistem ini salah logika, lo bisa dianggap bukan warga. Tapi gak bisa buka algoritmanya.
Lo bayangin:
Negara punya sistem buat menentukan siapa yang layak dapet bantuan, tapi rakyat gak pernah dikasih tahu rumusnya.
Dan kalau lo coba tanya?
“Itu teknis, Mas. Di luar kapasitas kami.”
Masalahnya bukan di digitalnya. Masalahnya: digital ini dibikin sebagai benteng, bukan jembatan
Padahal kalau mau, sistem digital publik bisa:
- Dibangun bareng komunitas
- Diuji logikanya secara terbuka
- Diajukan fitur berdasarkan kebutuhan rakyat
- Dilacak semua keputusan dan revisinya
- Diakses dan dikoreksi bareng-bareng
Tapi itu gak terjadi.
Karena yang bangun bukan rakyat.
Yang bangun adalah sistem yang takut dibuka.
Sekarang pertanyaannya: gimana lo bisa percaya sistem yang gak pernah ngajak lo bikin bareng?
Lo harus sadar:
Selama ini kita gak cuma kehilangan akses. Kita kehilangan kedaulatan.
Dan selama infrastruktur digital publik dibikin kayak sekarang — kita akan tetap jadi objek kebijakan, bukan pengambil kebijakan.
Sekarang, waktunya rakyat bikin sistem sendiri
Bukan buat ngelawan teknologi. Tapi buat ngelurusin arahnya.
Kita udah punya alatnya. Kita udah ngerti bahayanya.
Dan kalau kita diem aja, sistem ini akan terus dipakai buat ngontrol — bukan ngebantu.
Gimana caranya? Lo mulai dari sistem yang rakyat bisa pegang bareng: DAO
- Lo bisa bangun aplikasi pelayanan warga yang kode sumbernya terbuka
- Voting fitur di komunitas
- Setiap update dicatat
- Setiap keputusan dana lewat proposal
- Setiap bug bisa dilaporin dan ditindak real-time
Dan bukan itu doang.
Lo bisa bikin DAO pendidikan, DAO bansos, DAO RT, DAO koperasi, DAO kelurahan, DAO lingkungan, DAO transportasi warga, DAO database mandiri.
Setiap DAO berdiri, satu titik kuasa rakyat kebentuk.
Kita cuma butuh sistem yang rakyatnya bisa ngatur ulang dari bawah
Karena lo gak bisa ngarepin pusat paham semua masalah lokal.
Tapi lo bisa bikin sistem lokal yang ngerti betul:
- Siapa yang butuh bantuan
- Siapa yang kontribusi
- Siapa yang ngawasin
- Dan siapa yang bisa ambil keputusan
Dan ini bukan hayalan. Ini udah kejadian di komunitas-komunitas kecil Web3.
Lo tinggal adopsi. Modifikasi. Jalanin.
Sistem publik yang adil harus dibangun dari rakyat, oleh rakyat, dan bisa dikoreksi rakyat.
Kalau sistem digital gak bisa lo koreksi, itu bukan kemajuan. Itu jebakan.
Kalau algoritma distribusi gak bisa lo lihat, itu bukan efisiensi. Itu monopoli kuasa.
Dan kalau infrastruktur publik gak bisa dimiliki bareng, itu bukan milik rakyat. Itu alat elite.
Jadi sekarang lo punya dua pilihan:
- Terus hidup dalam sistem digital yang lo gak bisa sentuh
- Atau mulai bangun sistem digital baru — yang bahkan satu RW pun bisa jadi pemiliknya
Lo gak perlu coding jago.
Lo gak perlu gelar S.Kom.
Lo cukup punya niat buat berhenti nungguin sistem yang gak pernah ngajak lo ngomong.
Karena sistem lama ini gak pernah butuh lo ngerti. Tapi sistem baru gak bisa jalan tanpa lo ngerti.
Dan kalau rakyat gak bangun panggung digitalnya sendiri, lo akan selamanya cuma jadi nama di database yang lo sendiri gak bisa akses
Jangan tunggu infrastruktur jadi penjara.
Bikin dia jadi alat — milik rakyat, dikontrol rakyat, dan bisa dikoreksi bareng-bareng.
Karena sistem terbaik bukan yang sempurna.
Tapi yang bisa diperbaiki oleh orang yang paling kena dampaknya: lo.
Kalau lo udah baca sampai sini…
Gue cuma mau tanya satu hal:
Masih mau nunggu aplikasi baru dari pemerintah? Atau mau mulai bikin sistem sendiri bareng komunitas lo?
Pilih sekarang. Karena lama-lama, semua udah kedigital — kecuali kendali.