Identitas kita, Komoditas Mereka

Kita diminta patuh.
Tapi nggak pernah benar-benar dilindungi.

Kita diminta percaya.
Tapi terus-menerus dikhianati.

Negara bilang semua udah digital.
Semua sudah terintegrasi.

Tapi nyatanya: kita punya KTP, tapi masih diminta fotokopi. Kita udah punya NIK, tapi masih harus isi form manual.

Kalau data kita memang sudah terpusat,
kenapa semuanya masih terpisah-pisah?

Identitas kita katanya elektronik. Udah digital

Namanya e-KTP. Tapi setiap kali kita ngurus apa pun, semuanya tetap mulai dari nol.

Petugas tetap minta dokumen kertas. Sistem mereka nggak nyambung satu sama lain.

Dan kita, warga, disuruh maklum.

Lebih parah lagi,
banyak warga yang merantau,
hidup di kota lain,
tapi mau gak mau harus balik cuma buat ngurusin dokumen.

Apa masuk akal kayak gitu?

Satu negara.
Satu identitas.
Tapi sistemnya,
ribet dan tersebar ke mana-mana.

Yang punya identitas kita, bukan kita

KTP itu bukan tanda kuasa.
KTP itu cuma akses masuk ke sistem yang lebih besar, lebih rumit, dan lebih berat sebelah.

Kita terdaftar. Tapi nggak dilibatkan.
Data kita dipakai — buat kebutuhan pemerintah, pemilu, survei, pengadaan, proyek bansos — tapi nggak pernah diminta persetujuan.

Kita gak bisa tahu data kita dipakai buat apa.
Kita gak bisa lihat siapa aja yang akses.
Kita gak bisa tarik kembali, gak bisa kontrol, gak bisa batasi.

Dan yang paling gila: sistem yang minta semua data kita, gak bisa lindungi apa pun

Tahun 2021, 279 juta data penduduk Indonesia bocor. Diduga berasal dari BPJS.

Dijual di forum gelap. Nama lengkap, NIK, nomor HP, alamat, bahkan data medis, ada.

Gak lama, data UI bocor juga.
Data mahasiswa, NIK, email, nomor ponsel — semuanya dilego di BreachForums.
Dukcapil? Beberapa kali diklaim kebobolan.

Tiap kali kejadian, jawabannya sama:
“Sedang ditelusuri.”
“Kalau bisa jangan menyerang.”

Nggak ada permintaan maaf resmi.
Nggak ada kompensasi.
Nggak ada audit terbuka.
Dan pasti nggak ada yang bertanggung jawab.

Kita ini warga negara. Tapi dilayanin kayak daftar langganan gratisan

Masalahnya bukan sekadar data bocor. Masalahnya: data itu bocor karena sistemnya bolong.

Dan ketika data itu disalahgunakan — buat pinjaman ilegal, manipulasi pemilu, registrasi fiktif — kita yang disuruh waspada.

Kita disuruh jaga OTP, padahal mereka nggak bisa jaga server.

Kita disuruh hati-hati, padahal mereka ngasih akses ke siapa aja.

Semua ini dimulai dari ketimpangan kuasa atas data

Negara punya hak penuh atas data kita.
Tapi gak pernah ngasih kita kendali.
Nggak pernah ada transparansi soal:

  • Data kita dipakai buat apa
  • Disimpan di mana
  • Siapa aja yang punya akses
  • Seberapa lama data itu disimpan
  • Dan gimana kita bisa tarik persetujuan

Kita ini warga yang datanya diambil paksa. Tanpa diskusi, tanpa alternatif. Dan begitu datanya lepas, kita yang disuruh ngerti.

Ada orang yang cuma punya satu KTP, tapi datanya ada di 20 tempat. Dan dia gak pernah tahu tempat-tempat itu siapa.

Kita bahkan gak bisa lacak ke mana data kita pergi.

Nggak tahu siapa yang pegang.
Nggak tahu siapa yang copy.
Nggak tahu siapa yang jual.

Dan ketika ada ribuan warga yang KTP-nya dipakai buat dukungan politik, tiba-tiba muncul di pilgub, muncul di TPS, muncul di surat suara — kita cuma bisa geleng-geleng kepala.

Data kita dipakai buat hal-hal yang nggak pernah kita setujui. Dan lagi-lagi, kita disuruh nerima.

Kita bukan warga dalam sistem. Kita cuma jadi bahan baku statistik

Nama kita, alamat kita, nomor telepon kita — semua dipakai buat nambah jumlah, buat lengkapi database, buat “mewakili rakyat”.

Tapi pas rakyatnya butuh bukti, negara selalu bilang: “Silakan lapor. Akan kami proses sesuai prosedur.”

Padahal prosedurnya adalah cara paling sistematis buat bikin kita lelah.

Yang kita butuhkan bukan sistem baru yang lebih canggih. Tapi sistem baru yang lebih jujur.

Web3 bukan peluru ajaib. Tapi dia ngasih sesuatu yang udah lama hilang dari sistem kita sekarang: kepemilikan.

Kepemilikan atas identitas.
Kepemilikan atas data.
Kepemilikan atas hak akses.

  • Lo bisa validasi identitas lo sendiri tanpa harus fotokopi KTP.
  • Lo bisa kontrol siapa yang bisa pakai data lo, sampai kapan, dan buat apa.
  • Lo bisa lihat jejak penggunaannya, tarik kembali aksesnya, bahkan batasi level keterbukaannya.

Itu bukan teknologi. Itu sistem yang adil.

Negara punya hak penuh atas kita. Tapi kita gak pernah dikasih hak penuh atas diri sendiri.

Dan ini bukan soal teknologi.
Ini soal pilihan.

Kita bisa terus hidup dalam sistem yang terus minta, tapi gak pernah ngasih. Atau kita bisa mulai bangun sistem yang ngajak — bukan nyuruh.

Kalau lo masih diam, sistem ini gak akan pernah berubah

Identitas kita diambil sejak lahir. Tapi kontrol atas identitas itu… nggak pernah dikasih balik.

Negara punya data kita semua.
Mulai dari nama, alamat, tanggal lahir, status ekonomi, keluarga, bahkan biometrik.

Tapi giliran ada kebocoran,
penyalahgunaan, atau manipulasi,
kita gak pernah dikasih tahu.
Gak pernah dikasih pilihan.
Gak pernah dikasih kuasa.

Dan kita semua nerima itu — seolah itu normal.

Tapi sekarang lo tahu. Dan setelah tahu, diam lo adalah bagian dari masalah

Kalau lo warga, lo berhak minta sistem yang kasih lo kontrol.

Kalau lo ngerti teknologi, lo punya tanggung jawab buat bangun alternatif yang bisa beneran dijalanin.

Kalau lo di posisi pengambil kebijakan, lo harus sadar bahwa gak semua hal bisa lo kelola pakai sistem yang lo ciptain sendiri tanpa diawasi publik.

Kita bisa mulai dari mana aja.
Satu kelurahan, satu koperasi, satu organisasi, satu komunitas.
Tempat di mana warga bisa:

  • tahu data apa yang dipakai
  • milih siapa yang boleh akses
  • nolak kalau gak setuju
  • dan tahu kapan datanya bocor atau disalahgunakan

Bukan pake fotokopi. Bukan form isi tangan.
Tapi sistem yang bisa diverifikasi siapa pun, kapan pun, tanpa bisa dimanipulasi.

Kalau lo bilang rakyat belum siap, terus lo pikir siapa yang bikin mereka nggak siap?

Rakyat bukan gak mampu ngerti. Mereka cuma gak pernah dikasih pilihan yang masuk akal.

Kita udah biasa diminta isi form, isi data, submit ulang, tanda tangan, bawa materai.

Tapi gak pernah dikasih tahu kenapa semua itu dikumpulin. Dan setelah terkumpul, gak pernah dikasih akses buat lihat hasilnya.

Sekarang waktunya lo balikin.

Kita gak bisa terus nunggu sistem dari atas.
Karena yang di atas gak akan pernah rela ngasih kuasa kalau gak dipaksa.

Dan maksa itu bukan harus demo.
Bukan harus ngamuk.
Tapi nunjukkin sistem baru yang lebih adil — dan ngajak orang pindah.

Lo yang bisa bikin? Bikin.
Lo yang bisa nyebarin? Sebarin.
Lo yang bisa jalanin di komunitas? Jalanin.
Lo yang bisa bantu ngoding, ngejelasin, atau cuma ngasih ruang diskusi? Lakuin sekarang.

Karena setiap kali kita gak ngelakuin apa-apa, seseorang di luar sana lagi ngejual data kita — dan gak ada yang bisa kita lakuin selain nelen ludah.

Kalau data lo aja lo gak bisa punya, gimana lo mau punya masa depan yang lo atur sendiri?

Scroll to Top