Lo percaya demokrasi?
Gue tanya serius.
Bukan “percaya” yang lo ucapin pas diskusi kampus atau debat di X.
Tapi percaya, dari dalam.
Lo beneran yakin demokrasi itu milik rakyat?
Bahwa lo, sebagai warga negara, punya kuasa buat nentuin arah negeri ini?
Coba lo jawab pertanyaan ini dengan jujur. Tapi sebelum lo jawab, dengerin dulu cerita yang udah terlalu lama disimpen.
Gue lahir di generasi yang katanya udah bebas. Generasi reformasi. Generasi pasca-Orde Baru.
- Katanya, masa kelam udah lewat.
- Katanya, kita hidup di era baru yang lebih terbuka.
- Katanya, rakyat udah punya suara.
Dan gue percaya. Karena semua orang di sekeliling gue juga percaya.
TV bilang kita negara demokratis. Buku sekolah bilang suara rakyat itu suci. Pemilu disiarkan live. Wajah-wajah calon pemimpin dipajang di jalan raya. Jargon-jargon penuh harapan dilempar ke mana-mana.
Waktu kecil, gue lihat keluarga gue ke TPS kayak mau ibadah.
Ngantri. Rapi. Pakai batik.
Mereka senyum waktu nyoblos.
Mereka bilang: “ini cara kita milih masa depan.”
Gue kecil percaya.
Tapi makin gue gede, makin sering gue denger cerita yang bikin gue nanya: Ini demokrasi beneran? Atau kita cuma hidup di versi panggungnya aja?
Keluarga gue nggak pernah liat perbaikan hidup meski udah nyoblos berkali-kali. Temen gue nggak pernah kenal anggota DPR di daerahnya.
Guru gue bilang, “percuma kritik, nanti kita kena UU.” Orang-orang sekitar gue nyinyir waktu pemilu: “pilih yang mana? Sama aja.”
Dan sekarang, gue ngerti kenapa.
Karena demokrasi kita bukan gagal. Demokrasi kita udah berhasil, dalam hal menipu rakyatnya.

Kita dibikin percaya kita punya kuasa. Tapi nggak pernah dikasih kendali. Kita cuma disuruh milih dari daftar yang udah disiapin elite.
Kita dikasih hak suara, tapi cuma buat ngasih legalitas ke orang yang akan lupa kita sehari setelah menang.
Setiap lima tahun sekali, kita dikasih kotak suara.
Tapi setiap hari, kita diminta nurut pada keputusan yang kita nggak pernah tahu prosesnya.
Kita bukan warga. Kita konsumen.
Yang dibutuhin dari kita cuma: validasi.
Dan lo tau yang paling parah?
Kita udah tau semua ini. Tapi tetap ikut.
Karena kita ngerasa nggak punya pilihan.
Karena kalau kita nggak ikut nyoblos, kita dibilang nggak peduli.
Kalau kita kritik sistem, kita dituduh anarkis.
Kalau kita ngajak mikir bareng, kita dibilang nyari ribut.
Kita hidup di negara demokrasi — yang isinya justru sistem ketundukan.
Tapi gini…
Kalau lo udah baca sampai sini, dan lo masih ngerasa ada yang salah sama sistem ini, berarti lo nggak sendirian. Berarti lo udah siap buat bilang:
“Gue nggak percaya lagi sama sistem ini. Dan gue mau cari jalan keluar.”
Dan itu alasan kenapa manifesto ini ditulis.
Bukan buat bikin lo marah.
Tapi buat nunjukin bahwa kemarahan lo itu valid.
Bukan buat nambahin kebencian, tapi buat ngasih arah.
Karena nanti, kita akan bahas: kenapa sistem ini didesain kayak gini, siapa yang ngejaga, gimana cara kerjanya, dan kenapa sekarang kita udah punya cara buat keluar dari semua ini.
Bukan buat ganti aktor.
Tapi buat bakar panggungnya sekalian.
Cara sistem ini ngejebak kita sejak awal
Lo kira demokrasi itu alat rakyat?
Lo salah.
Demokrasi di Indonesia bukan alat buat ngebebasin lo.
Dia alat buat ngejaga ketertiban, biar sistem lama tetap hidup,
tapi dibungkus dengan jargon “rakyat berdaulat.”
Dan ini bukan kebetulan. Ini desain.
Demokrasi diimpor, bukan ditanam
Lo pikir kita dapet demokrasi karena perjuangan rakyat?
Bukan. Kita dikasih demokrasi kayak lo dikasih baju seragam — biar keliatan rapi dari luar.
Lo liat sejarah, lo bakal nemu:
Setelah Orde Baru tumbang, sistem nggak hancur — dia cuma ganti topeng. Militer mundur satu langkah, elite sipil naik panggung.
Tapi struktur kuasanya? Sama.
Yang berubah cuma bungkusnya.
Sebelum itu?
Sama aja.
Orde Baru? Sentralisasi kekuasaan.
Orde Lama? Kacau.
Merdeka? Iya. Tapi sistemnya kita warisin dari Belanda dan dibentuk ulang sama tekanan asing.
Kita nggak pernah bangun sistem kita sendiri.
Kita selalu nerusin sistem orang lain.
Dan demokrasi versi kita?
Cuma hasil fotokopi buram dari sistem Barat — dipake, dijahit ulang, dan dijual ke rakyat dengan kata-kata manis.
Sistem ini dibuat biar rakyat sibuk, bukan berdaulat
Kenapa kita disuruh milih 5 tahun sekali?
Biar kita sibuk.
Sibuk debat, sibuk dukung capres, sibuk perang baliho.
Biar energi rakyat habis di pemilu.
Dan setelah itu? Yang kerja sistem. Sistem yang digerakkan oleh uang, kekuasaan, dan deal di ruang rapat yang lo nggak pernah bisa masuk.
Parpol-parpol yang lo dukung itu bukan kendaraan rakyat. Mereka kendaraan elite untuk menjaga posisi mereka.
Semuanya diatur. Pencalonan, debat, distribusi dana kampanye, buzzer, survei — semua dijahit buat satu tujuan: menjaga agar perubahan sistemik nggak pernah benar-benar terjadi.
Lo boleh teriak perubahan.
Tapi selama lo masih main di lapangan mereka, lo cuma bagian dari sirkusnya.
Wakil rakyat? Mereka wakil sistem

Kita sebut mereka “wakil rakyat”. Tapi gimana bisa mereka wakilin rakyat, kalau mereka masuk lewat partai? Kalau mereka naik karena duit mahar? Kalau mereka duduk karena komitmen ke sponsor?
Mereka nggak kerja buat lo.
Mereka kerja buat partai yang ngasih tiket.
Buat investor yang ngasih dana.
Buat sistem yang bikin mereka nyaman.
Makanya mereka diam waktu RUU KPK dilucuti.
Makanya mereka ngebut RUU yang pro pemilik modal.
Makanya mereka males rapat tapi rajin studi banding.
Mereka adalah manajer kekuasaan, bukan penghubung rakyat.
Dan sistem ini dirancang biar lo percaya mereka kerja buat lo, padahal mereka kerja buat sistem.
Media dan pendidikan: Dua pilar penjinak rakyat
Kenapa kita nggak pernah benar-benar marah? Kenapa mayoritas rakyat diem, padahal sistem udah jelas-jelas nyakitin?
Karena dua hal:
media dan pendidikan.
Media arus utama itu bukan cermin realita. Mereka alat framing.
Berita dibungkus kayak infotainment, kasus besar dikubur, konflik sistemik disederhanain.
Yang dibesar-besarin? Drama, konflik identitas, perang buzzer.
Pendidikan pun sama:
- Lo disuruh apal Pancasila, tapi nggak pernah diajarin cara ngelawan sistem.
- Lo belajar sejarah yang dibersihin.
- Lo dikasih Ujian Nasional buat nilai disiplin, bukan nalar.
- Lo disuruh patuh, bukan mikir.
Dan setelah lulus?
Lo disuruh kerja keras, biar nggak sempat mikir kenapa hidup lo gitu-gitu aja.
Ini bukan kebodohan massal. Ini manajemen kebodohan
Sistem ini nggak pengen lo bodoh.
Sistem ini pengen lo cerdas tapi jinak.
Pinter tapi tunduk.
Tahu tapi takut.
Dan selama lo masih ngikutin jalurnya…
lo sekolah, kerja, nyoblos, bayar pajak, diem — lo dianggap warga negara baik.
Tapi begitu lo mulai tanya:
- Kenapa suara gue nggak pernah nentuin apa-apa?
- Kenapa gue milih tapi hidup gue nggak pernah berubah?
- Kenapa DPR bisa lolosin UU di tengah malam?
- Kenapa pemerintah selalu alergi kritik?
Saat itu, lo mulai bahaya buat sistem.
Makanya lo akan disuruh diam.
Atau dialihkan ke debat receh soal “toleransi”, “bhinneka”, atau “budaya Timur.”
Padahal lo lagi nanya hal paling mendasar: “Siapa yang sebenarnya punya kuasa?”
Dan sekarang lo mulai ngerti kan?
Demokrasi kita itu bukan panggung rakyat. Itu panggung pengelabuan.
Lo boleh naik sebentar, ngomong sedikit, tapi nggak boleh ngubah arah.
Dan kalau lo ngotot, lo bakal dikriminalisasi, disingkirin, atau diabaikan.
Tapi tenang. Ini bukan akhir tulisan.
Ini baru akhir dari ilusi.
Karena setelah ini, gue bakal tunjukin:
kalau sistem ini emang palsu, lalu sistem kayak apa yang bisa gantiin?
Dan itu bukan hayalan. Bukan tebak-tebakan.
Kita udah punya blueprint-nya.
Udah jalan. Udah bisa diuji.
Dan lo bisa ikut dari sekarang.
Sandiwara pemilu: Pilihan yang udah dipilihin
Lo ingat kapan terakhir lo milih pemimpin dan ngerasa menang?
Gue nggak tanya siapa yang menang di TPS.
Gue tanya: kapan terakhir lo milih dan ngerasa hidup lo beneran berubah karena itu?
Gue tanya: kapan terakhir lo yakin pilihan lo bener-bener lo pilih sendiri, bukan lo yakin karena media, buzzer, janji palsu, atau karena yang satu “lebih mendingan dari yang satunya lagi”?
Kalau lo jujur, jawabannya: nggak pernah.
Lo nggak pernah beneran milih. Lo cuma disuruh ikut ngeramein.
Setiap lima tahun, lo diajak pesta demokrasi.
Tapi kayak pesta kawinan yang lo nggak pernah bisa tentuin menunya. Lo dateng, lo disuruh tepuk tangan, lo dikasih kotak suara — padahal semua yang ada di kertas suara itu udah disaring. Udah dinego. Udah disiapin jauh sebelum lo punya akses info apapun.
Lo pikir lo bebas milih.
Padahal pilihan lo dibatasi sejak awal oleh uang, koneksi, dan sistem.
Yang bisa nyalon harus punya partai.
Partai butuh dana.
Dana datang dari mana? Dari segelintir orang yang udah pegang remote sistem.
Jadi pertanyaan sesungguhnya:
Apa bener kita milih pemimpin? Atau kita cuma milih bos yang disetujui bos yang lebih besar?
“Tapi kan kita masih bisa milih yang terbaik dari yang ada!”
Dan di situlah sistem ini jeniusnya.
Karena dia nggak kasih lo pilihan buruk dan baik.
Dia kasih lo pilihan buruk dan lebih buruk.
Biar lo tetap milih, tapi milih karena takut — bukan karena harapan.
Dan lo mikir: “yaudahlah, daripada si itu menang.”
Lo pikir itu sikap rasional. Padahal itu sikap defensif yang udah dirancang sistem supaya lo tetap bermain di panggung yang mereka bikin.
Dan setelah pemilu selesai?
Yang menang terserah mereka.
Yang rugi tetap lo.
Pemilu itu transaksi, bukan representasi

Lo mau bukti? Liat deh pola kampanye: semua janji, semua retorika, semua visi misi — itu bukan rencana kerja. Itu proposal bisnis.
Kandidat jualan diri.
Partai nyari ROI.
Investor politik ngitung return-nya.
Media pasang tarif.
Dan rakyat?
Lo penonton, kadang-kadang diminta jadi cheerleader.
Suara lo dihitung. Tapi cuma buat sahkan transaksi.
Lo dijadiin angka, bukan manusia.
Dan saat pemilu selesai, sistem mulai jalan kayak biasa lagi.
Lo balik kerja, bayar pajak, antri BPJS, nunggu bantuan yang sering nggak dateng.
Masalahnya bukan di pemimpinnya, tapi panggungnya
Ini poin paling penting, dan sistem nggak pengen lo nyadar soal ini.
Bukan siapa yang duduk yang bikin sistem rusak. Tapi kursi tempat mereka duduk yang emang dari awal udah cacat desainnya.
Lo ganti presiden.
Lo ganti DPR.
Lo ganti partai.
Tapi selama struktur kekuasaannya tetap, aliran duitnya tetap, media masih dikontrol, dan hukum bisa dinego — lo cuma lagi muter-muter di labirin yang ujungnya balik lagi ke titik nol.
Dan sistem suka itu. Karena lo sibuk ngeributin aktor, tapi lupa nanya: siapa yang bikin panggungnya? Dan kenapa panggungnya selalu arahnya ke atas, bukan ke rakyat?
Jadi, apa yang harus kita lakukan?
Lo bisa stop percaya pemilu? Bisa. Tapi itu baru langkah pertama.
Yang lebih penting dari berhenti milih adalah mulai bangun sistem di luar itu.
Lo harus mulai mikir:
- Gimana kalau sistem pengambilan keputusan dibuat biar nggak bisa dimanipulasi?
- Gimana kalau setiap dana bisa dilacak?
- Gimana kalau keputusan publik diambil langsung oleh mereka yang terdampak, bukan oleh “wakil” yang sibuk rapat di ruangan tertutup?
Lo tau kan ke arah mana ini?
Ya, kita mulai bahas pelan-pelan… Web3.
Bukan sebagai tren. Tapi sebagai sistem politik alternatif.
DPR dan wakil-wakilan kosong: Kapan lo terakhir kali merasa diwakili?
Lo sering denger kalimat ini: “Tenang aja, aspirasi kalian udah kami tampung.”
Itu kalimat paling halus dari sistem yang udah lama berhenti dengerin lo.
Dan lo sadar nggak, setiap kali rakyat marah, wakil rakyat selalu jawab pakai template:
- “Kami akan pertimbangkan.”
- “Kami akan kaji ulang.”
- “Kami akan sampaikan.”
Tapi kapan terakhir “pertimbangan” mereka nyampe ke rakyat?
Kapan terakhir DPR beneran datang ke lo, bukan buat kampanye, tapi buat denger? Kapan terakhir aspirasi lo ditanyain sebelum mereka teken UU? Kapan terakhir keputusan politik besar dikonsultasikan ke warga secara langsung?
Lo boleh pilih siapa yang duduk di kursi itu, tapi lo nggak pernah tahu apa yang mereka lakuin setelah duduk.
Dan itu bukan kecelakaan. Itu sistem.
“Wakil Rakyat” itu nama jabatan. Bukan bukti lo diwakili
Fakta paling brutal dari sistem kita: Nggak ada mekanisme untuk ngecek apakah mereka beneran wakilin lo atau enggak.
Nggak ada sistem evaluasi.
Nggak ada kewajiban voting publik.
Nggak ada konsekuensi kalau mereka bikin keputusan yang ngerugiin rakyat.
Begitu mereka duduk di kursi, hubungan mereka sama lo putus.
Nggak ada accountability real-time.
Nggak ada saluran pengawasan langsung dari pemilih.
Mereka punya kekuasaan legislatif. Lo? Punya harapan doang.
DPR itu seperti rekening bank, lo yang punya tapi gak bisa diakses
Bayangin lo punya rekening bank. Di atas namanya tertulis “milik rakyat.”
Tapi satu-satunya orang yang bisa masukin PIN dan tarik duitnya adalah elite partai.
Dan lo? Cuma bisa nonton saldo lo dipakai buat studi banding, pelesiran, atau rapat tertutup.
Lo nggak pernah bisa ngecek transaksi.
Nggak bisa ngeblokir penyalahgunaan.
Nggak bisa cabut akses.
Itu yang sekarang kita alami.
DPR itu institusi yang katanya dibentuk oleh rakyat, untuk rakyat, tapi bekerja secara operasional untuk melindungi sistem.
Dan sistem ini sengaja nggak bisa digerogoti dari dalam
Berapa banyak aktivis idealis yang masuk politik dan akhirnya diem?
Berapa banyak “wakil rakyat muda progresif” yang awalnya vokal, ujungnya masuk arus?
Itu bukan karena mereka pengkhianat. Tapi karena sistem ini nggak memungkinkan satu orang untuk ubah struktur kekuasaan yang dikelola berjamaah.
Mereka harus tunduk pada mekanisme partai, voting fraksi, disiplin kolektif, dan kepentingan yang jauh dari rakyat.
Kalau mereka lawan? Mereka dipecat.
Kalau mereka bersuara? Mereka dikucilkan.
Kalau mereka jujur? Mereka diganti.
Dan selama struktur ini ada, lo bisa masukin seribu orang baik ke DPR — tapi hasilnya tetap keputusan yang buruk.
Karena mereka bukan wakil rakyat. Mereka operator sistem.
Lalu, kita masih percaya perwakilan?
Coba renungin ini:
Kalau gue bisa voting langsung dari rumah buat tentuin arah komunitas gue, buat apa gue nitip suara ke orang yang gue nggak kenal, dan yang bisa ngilang selama lima tahun?
Kalau teknologi bisa ngebuat suara rakyat dihitung real-time, transparan, bisa dilacak — kenapa kita masih rela ngasih mandat total ke orang yang kerja di balik pintu tertutup?
Karena itu dia.
Kita masih main di sistem lama.
Dan sistem ini didesain biar lo percaya sama wakil, bukan sama diri lo sendiri.
Kita nggak butuh wakil. Kita butuh sistem dengan akses langsung
Dan inilah kenapa gue nggak cuma kritik.
Gue tunjukin alternatif.
Karena di dunia Web3, lo nggak perlu wakil kalau lo bisa voting sendiri.
Lo bisa ikut ambil keputusan lewat onchain governance.
Setiap keputusan punya log.
Setiap suara terekam.
Setiap proposal dibuka ke publik.
Semua orang bisa lihat siapa voting apa, kapan, dan atas dasar apa.
Nggak ada ruang buat ketok palu diam-diam.
Nggak ada rapat malam-malam.
Nggak ada “wakil” yang lupa siapa yang dia wakilin.
Di DAO, suara lo adalah alat eksekusi. Bukan sekadar simbol.
Dan kalau lo punya akses, lo punya kendali.
Manajemen kebodohan nasional: Pendidikan, media, dan budaya tunduk
Pernah mikir kenapa rakyat nggak ngamuk-ngamuk walaupun hidup makin mahal, sistem makin rusak, dan keadilan makin kabur?
Jawabannya bukan karena rakyat kita sabar.
Bukan juga karena kita nggak ngerti.
Tapi karena kita udah dibentuk jadi jinak. Secara sistematis.
Dan pembentukan itu dilakuin lewat tiga senjata utama: pendidikan, media, dan budaya.

1. Pendidikan kita maju. Maju mundur cantik dari dulu
Dari SD sampai kuliah, lo nggak diajarin mikir. Lo diajarin ngikut.
- Disuruh apalin UUD 1945, tapi nggak pernah diajarin ngoreksi undang-undang yang cacat.
- Disuruh hafal sejarah perjuangan, tapi sejarah reformasi disensor.
- Disuruh nulis opini di LKS, tapi kalau opininya terlalu kritis — lo dikasih nilai jelek.
Kurikulum kita bukan buat melatih nalar. Tapi buat melatih ketertiban.
Disiplin tinggi. Kritik rendah.
Yang aktif di kelas? Bagus.
Yang mempertanyakan isi buku? Dibilang kurang ajar.
Lo lulus sekolah bukan buat ngerti dunia.
Tapi buat bisa patuh di dunia kerja.
Pendidikan kita bukan bikin lo melek sistem.
Tapi bikin lo cocok masuk sistem, dan nggak banyak tanya.
2. Media kita bebas. Bebas milih sumber penguasa
Katanya kita punya kebebasan pers. Tapi lo perhatiin nggak, berita soal harga cabe bisa jadi headline nasional, tapi berita soal UU kontroversial sering tenggelam?
Media kita bukan alat informasi. Tapi alat pengalihan.
- Berita soal krisis sistem diganti dengan drama artis.
- Diskusi soal korupsi digeser ke soal toleransi.
- Kebijakan yang nyakitin rakyat di-framing sebagai “demi kepentingan bersama.”
- Dan kalau rakyat mulai ribut, media naikkin berita soal “kondusivitas”.
Kenapa?
Karena mayoritas media udah dikuasai konglomerat.
Dan konglomerat punya hubungan langsung sama politik.
Media bukan alat rakyat.
Media udah jadi alat elite buat ngejaga narasi.
3. Budaya kita ramah. Ramah sama ketertindasan
Kita dibesarkan dengan pepatah:
- “Yang sopan sama yang tua.”
- “Jangan banyak protes.”
- “Ngomong pelan, nanti rezeki lancar.”
Kita disuruh hormat, bukan disuruh adil.
Disuruh sabar, bukan disuruh melawan.
Disuruh nrimo, bukan disuruh mikir kenapa harus nrimo.
Budaya kita bukan cuma pasif. Tapi dipaksa pasif.
Dan setiap kali lo coba ngelawan, lo akan dibilang nggak sopan.
Kalau lo nyentil pejabat, lo dibilang ngotak-atik stabilitas.
Kalau lo bilang sistem ini busuk, lo akan dilabeli “meresahkan.”
Kita dibikin takut jadi manusia merdeka.
Lo pinter. Tapi dibikin sibuk. Dan lama-lama nggak lagi nanya
Sistem ini jenius. Dia nggak cegah lo buat belajar.
Dia kasih lo ilmu.
Tapi ilmu yang disaring.
Lo boleh belajar akuntansi.
Tapi jangan tanya kenapa utang negara terus naik.
Lo boleh belajar hukum.
Tapi jangan kritik pasal karet.
Lo boleh belajar politik.
Tapi jangan nyentuh oligarki.
Sibuk? Iya.
Produktif? Iya.
Tapi kritis? Enggak.
Dan lama-lama, tanpa lo sadar…
lo hidup cerdas, tapi tunduk.
Tahu banyak, tapi diem.
Ini bukan bodoh. Ini strategi. Ini manajemen kebodohan nasional
Lo dijaga biar nggak ngerti.
Kalau ngerti, lo dijaga biar nggak percaya diri.
Kalau percaya diri, lo dijaga biar nggak punya wadah.
Kalau punya wadah, lo dijaga biar nggak bisa tumbuh.
Lo dikasih kebebasan belajar, asal lo nggak pake itu buat ngerubah sistem.
Lo dikasih suara, asal lo bisikin pelan-pelan.
Lo dikasih opini, asal sesuai format.
Lo dikasih ruang gerak, asal lo nggak lompat pagar.
Sistem ini bukan gagal.
Dia sangat berhasil.
Tapi…
Kalau lo udah sampai sini, berarti dia gagal satu hal: ngebikin lo diem.
Karena sekarang, lo mulai sadar.
Dan setelah lo sadar, pilihan tinggal dua:
- Lo bisa balik ke rutinitas, pura-pura nggak ada yang salah.
- Atau lo lanjut, dan mulai bangun panggung baru — yang pendidikan, media, dan budayanya lahir dari rakyat, bukan dibentuk buat jinakin rakyat.
Suara yang dijual, rakyat yang dihapus
Lo tau kenapa pemilu selalu rame?
Karena buat elite, pemilu itu bukan ajang perubahan. Tapi musim panen. Ini waktunya mereka ngumpulin suara dengan cara paling efisien: beli.
Lo pikir suara rakyat itu simbol kekuasaan?
Di sistem ini, suara rakyat cuma jadi angka di spreadsheet. Dihitung, ditarget, dikapitalisasi.
Dan ketika suara bisa dibeli, rakyat bukan lagi subjek demokrasi. Tapi komoditas.
“Yang penting nyoblos, bray”
Itu kata mereka.
Tapi kenyataannya?
Yang penting buat mereka bisa menang.
Bukan lo sejahtera.
Makanya mereka nggak peduli lo ngerti visi-misinya atau enggak.
Yang penting: lo dateng, lo coblos, dan lo nggak nanya-nanya lagi setelah itu.
Kalau perlu dibayar, dibayar.
Kalau perlu diiming-iming jabatan, dijanjiin.
Kalau perlu disuap, disuap.
Yang penting kursi kepegang.
Dan rakyat?
Sibuk ribut soal “siapa yang paling peduli rakyat”, padahal semua aktor di panggung yang sama. Panggung yang tiket masuknya cuma bisa dibeli pake uang besar dan janji kosong.
Demokrasi berbasis dompet, bukan integritas
Lo punya kandidat baik? Keren.
Tapi kalau dia nggak punya logistik, dia cuma jadi penonton.
Karena di sistem ini, yang punya panggung adalah yang bisa bayar panggungnya.
Mau ikut pemilu?
Bayar mahar partai.
Bayar media.
Bayar tim sukses.
Bayar survei.
Bayar buzzer.
Bayar massa.
Lo kira kampanye itu perjuangan moral?
Kampanye itu belanja.
Dan rakyat? Target pasar.
Dan parahnya, kita mulai nerima itu sebagai norma
Lo tau yang paling bahaya?
Bukan ketika suara lo dijual. Tapi ketika lo nerima itu sebagai hal biasa.
“Yah, daripada nggak dapet apa-apa.”
“Yah, minimal dapet sembako.”
“Yah, dia emang gitu caranya, tapi nanti juga bantu rakyat kok.”
Ini bukan pragmatisme.
Ini penyesuaian diri terhadap sistem yang udah lama ngerampas harga diri lo, dan ngasih kompensasi recehan. Dan lama-lama, lo bukan lagi bagian dari rakyat yang menuntut keadilan.
Lo jadi klien politik.
Yang dibayar, diem.
Yang dikasih, ikut.
Yang diajak, nyanyi.
Suara lo berharga bukan karena demokrasi. Tapi karena bisa diuangkan
Sistem ini bukan menghargai suara rakyat.
Sistem ini menguangkan suara rakyat.
Selama lo bisa dibayar, lo akan diperebutkan.
Tapi setelah lo dipakai?
Lo dibuang.
Liat aja tiap habis pemilu.
Berapa banyak janji yang ditepati?
Berapa banyak aspirasi yang dikawal?
Dan coba bandingkan:
Berapa banyak kontrak bisnis yang langsung ditandatangani begitu kursi kekuasaan diamankan?
Kalau suara bisa dibeli, maka demokrasi gagal total
Karena inti demokrasi adalah partisipasi setara.
Tapi ketika suara orang kaya punya nilai lebih karena bisa nyokong kampanye, dan suara orang miskin cuma bernilai di TPS, itu bukan demokrasi. Itu sistem kasta digital.
Dan selama sistem ini ada, lo nggak akan pernah punya posisi tawar sebagai rakyat. Karena lo akan terus dianggap murah. Karena suara lo udah dianggap bisa dibeli.
Web3 sebagai sistem baru?
Gue nggak bilang blockchain bisa ganti dunia. Tapi gue bilang: blockchain ngasih kita alat buat ngebangun sistem yang nggak bisa dijual-belikan.
Di DAO, satu wallet = satu suara. Nggak bisa dibeli massal.
Kalau lo pake smart contract, semua janji harus bisa dibuktikan eksekusinya.
Kalau lo bikin voting onchain, hasilnya terekam publik.
Nggak bisa disuap.
Nggak bisa dinego.
Dan yang paling penting: suara nggak ditukar jadi kekuasaan permanen.
Setiap keputusan bisa divoting lagi, kapan aja.
Lo bisa cabut mandat.
Lo bisa revisi.
Lo bisa review.
Karena suara lo bukan milik orang lain.
Tapi milik lo, setiap saat.
Web3 bukan solusi instan. Tapi dia punya jawaban
Gue tahu.
Lo udah muak.
- Sama sistem yang pura-pura adil.
- Sama panggung demokrasi yang diisi aktor yang udah di-casting dari awal.
- Sama janji perubahan yang ujungnya balik ke bentuk lama.
Dan sekarang, lo nanya: “Kalau semua rusak, terus gue harus gimana?”
Dan di sinilah kebanyakan orang nyerah. Karena mereka diajarin:
Kalau lo mau ubah sistem, lo harus masuk sistem. Tapi lo juga tahu, sistem itu nggak bisa diubah dari dalam — karena justru orang dalamnya yang paling takut berubah.
Jadi solusinya bukan “reformasi sistem”.
Solusinya: bikin sistem baru dari nol.
Dan inilah kenapa Web3 bukan cuma penting — tapi mendesak.
Web3 itu bukan soal token. Bukan soal kripto
Web3 itu soal siapa yang pegang kendali.
Sistem hari ini dibangun berdasarkan satu prinsip: pusat kekuasaan.
Kekuatan dikonsentrasikan. Lo bisa lihat dari:
- Partai politik yang tersentralisasi.
- Media dikontrol korporasi.
- Hukum dibentuk segelintir.
- Ekonomi digerakkan oleh segelintir.
Lo bisa jerit sekeras apapun, tapi sistem pusat akan tetap berjalan…
karena semua keputusan ditarik ke atas.
Web3 ngelawan itu dari akar. Dia bilang:
- Lo gak perlu pusat. Lo perlu koneksi.
- Lo gak perlu menunggu izin. Lo bisa mulai.
Dan itu bukan teori. Itu udah terjadi.
Blockchain = Transparansi yang nggak bisa dimatiin
Gue ulang: nggak bisa dimatiin.
Bukan kayak laporan keuangan yang bisa disensor.
Bukan kayak hasil voting yang bisa diklaim sepihak.
Setiap transaksi, keputusan, voting — dicatat.
Publik. Bisa dicek siapa pun.
Selamanya.
Dan ini bukan cuma soal “keamanan”.
Ini soal akuntabilitas sistem.
Kalau pejabat bohong? Ketauan.
Kalau proposal disabotase? Ketauan.
Kalau dana diselewengkan? Ketauan.
Bukan karena mereka jujur. Tapi karena sistemnya gak bisa bohong.
DAO = Demokrasi tanpa aktor utama

DAO (Decentralized Autonomous Organization) bukan nama keren doang. DAO itu struktur pengambilan keputusan tanpa dominasi. Gak ada ketua, gak ada wakil rakyat, gak ada orang dalam.
Semua anggota bisa:
- Buat proposal.
- Voting langsung.
- Lihat hasilnya real-time.
- Tahu siapa setuju, siapa enggak.
- Revisi bareng.
- Eksekusi bareng.
Lo gak harus jadi tokoh masyarakat.
Lo gak perlu punya baliho.
Lo cukup punya niat dan konsistensi.
DAO bukan nunggu orang mimpin.
DAO ngajak semua orang ambil peran.
Voting onchain = Demokrasi yang jalan terus, Bukan tiap 5 tahun
Salah satu kebohongan paling besar dari demokrasi hari ini: “lo udah milih, sekarang biarkan mereka kerja.”
Masalahnya, kerja mereka gak bisa lo pantau.
Gak bisa lo koreksi.
Gak bisa lo tarik mandatnya di tengah jalan.
Web3 jawab itu dengan voting onchain:
- Lo bisa ikut ambil keputusan kapan aja.
- Suara lo terekam.
- Lo bisa revisi keputusan kolektif sebelumnya.
- Lo bisa tarik dana, blokir proposal, atau bahkan kick out siapa pun yang abuse power.
Gak ada masa jabatan.
Gak ada kuasa mutlak.
Cuma kontrol publik, real-time, tanpa batas.
Web3 bukan solusi instan. Tapi dia kasih kita panggung baru.
Lo gak harus ninggalin sistem lama langsung.
Tapi lo bisa mulai bikin sistem paralel.
Mulai dari:
- Komunitas DAO lokal.
- Proposal dana publik transparan.
- Voting kolektif buat keputusan komunitas.
- Platform open-source buat distribusi tugas dan hasil.
- Struktur governance yang bisa diakses siapa aja, tanpa relasi, tanpa modal.
Kalau lo selama ini cuma jadi bagian dari kerumunan — di sistem ini, lo bisa jadi pembuat sistemnya sendiri.
- Bukan hanya wakil rakyat yang bisa pegang suara. Lo juga bisa.
- Bukan cuma elite yang bisa buat aturan. Lo juga bisa.
- Dan bukan cuma mereka yang bisa bangun dunia. Lo juga bisa.
Bangun panggung sendiri – Lo bukan butuh pemimpin. Lo butuh sistem baru

Selama ini lo diajarin satu skema:
Kalau lo pengen perubahan, cari pemimpin yang baik.
Pemimpin yang “dekat dengan rakyat”.
Pemimpin yang “visioner”.
Pemimpin yang “bisa dipercaya”.
Dan setiap kali sistem rusak, lo disuruh ganti pemimpin.
Kayak ganti baterai di remote yang rusak.
Padahal remotenya yang udah korosi.
Berhenti nyalahin orang. Mulai tanya, siapa yang bikin aturannya?
Karena selama lo masih percaya satu orang bisa ngubah segalanya — lo bakal terus kecewa.
Sistem ini nggak butuh orang baik untuk tetap jalan.
Justru, sistem ini hidup dari ngabisin orang-orang baik satu per satu.
Lo masuk niat mau bantu rakyat, sistem tarik lo ke dalam:
- Lo harus patuh ke partai.
- Lo harus tunduk sama investor.
- Lo harus kompromi biar “bisa bertahan”.
Dan perlahan, lo bukan lagi bagian dari solusi.
Lo jadi bagian dari sistem yang lo kritik dulu.
Bukan karena lo jahat. Tapi karena sistemnya didesain buat nelen lo.
Jadi stop nyari pemimpin. Bangun panggung sendiri
Panggung tempat rakyat bisa ambil keputusan bareng.
Tanpa izin partai.
Tanpa modal politik.
Tanpa ketok palu dari atas.
Panggung yang dimiliki bareng, dibentuk bareng, dan dijaga bareng.
Dan panggung itu gak perlu lo bikin dari nol.
Alatnya udah ada: DAO, voting onchain, forum publik terbuka, smart contract, platform koordinasi komunitas.
Lo bisa mulai dari yang paling kecil:
- Lo bikin DAO buat lingkungan lo.
- Voting bareng soal alokasi dana, kegiatan, agenda.
- Lo bikin proposal transparan, semua bisa lihat.
- Siapa aja bisa kontribusi, siapa aja bisa koreksi.
Dan ini bukan simulasi. Ini nyata.
Ini sistem alternatif yang bisa lo uji, bangun, dan sempurnakan sendiri.
Revolusi nggak dimulai dari parlemen. Tapi dari panggung kecil yang nggak bisa dibeli
Coba pikir, semua revolusi besar: gak pernah dimulai dari panggung utama.
Dia dimulai dari gang sempit.
Dari kertas manifesto.
Dari obrolan kecil yang jujur dan berani.
Sama kayak sekarang.
Lo gak perlu punya 1 juta follower buat mulai.
Lo gak perlu jadi aktivis terkenal.
Lo cukup sadar bahwa sistem ini rusak,
dan cukup nekad buat bangun alternatifnya.
Biar kecil.
Biar pelan.
Yang penting bukan sistem lama.
Jangan tunggu semua siap. Karena sistem lama nggak akan nunggu lo
Kalau lo tunggu semuanya sempurna sebelum mulai, lo bakal terus ketinggalan.
Karena sistem lama gak akan diem.
Mereka bakal terus ngatur ulang panggungnya.
Terus nge-rebrand. Terus ngasih narasi:
- “Tenang, wakil rakyat lo udah denger.”
- “Tenang, presiden baru bakal beda.”
- “Tenang, UU ini untuk kebaikan bersama.”
Padahal yang mereka takutin bukan suara lo di TPS.
Yang mereka takutin adalah saat lo berhenti main di panggung mereka.
Dan kalau banyak panggung baru tumbuh? Sistem lama bakal panik
Karena sistem lama kuat bukan karena kebenarannya.
Tapi karena dominasi. Karena monopoli. Karena rakyat gak punya alternatif.
Tapi begitu DAO lo berhasil.
Begitu komunitas lo bisa ambil keputusan sendiri.
Begitu lo buktiin bahwa rakyat bisa jalan tanpa “wakil”…
itu revolusi.
Dan itu gak bisa disensor.
Gak bisa ditangkep.
Gak bisa dibungkam.
Karena gak ada pusatnya.
Karena gak ada yang bisa disuap.
Itu kekuatan Web3.
Itu panggung yang kita bangun bareng.
Kalau sekarang nggak bergerak, kapan lagi?
Lo udah tau.
Sekarang lo udah liat semua kebusukan yang lo selama ini cuma curigain.
Lo udah liat gimana demokrasi kita cuma panggung palsu.
Gimana suara lo cuma jadi alat sahkan kekuasaan.
Gimana DPR nggak pernah mewakili, media memanipulasi, pendidikan menjinakkan, dan gimana sistem ini terlalu halus buat bikin lo sadar bahwa lo sebenarnya bukan warga — lo cuma objek.
Tapi sekarang lo melek.
Dan setelah melek, lo cuma punya dua pilihan: Balik tidur. Atau bangun.
Lo bisa bilang, “Ah, terlalu susah buat mulai.”
Tapi lo harus tau: rakyat selalu dibikin ngerasa kecil.
Bukan karena rakyat beneran kecil. Tapi karena sistem butuh lo ngerasa gitu biar mereka tetap di atas.
Lo bisa bilang, “Gue gak punya kuasa.”
Padahal justru karena lo ngerasa gak punya kuasa, mereka bebas ngatur hidup lo.
Lo bisa bilang, “Gue cuma rakyat biasa.”
Padahal semua perubahan besar di dunia ini dimulai dari rakyat biasa yang mutusin satu hal: cukup.
Dan kalau lo nanya, “Harus mulai dari mana?”
Gue jawab: dari sini. Sekarang.
Mulai dari belajar.
Mulai dari ngobrol bareng yang sepemikiran.
Mulai dari bangun DAO kecil.
Mulai dari nyebarin ide bahwa sistem ini harus diganti, bukan diperbaiki.
Lo gak harus punya roadmap sempurna.
Karena revolusi gak butuh izin.
Yang lo butuh cuma dua hal: kesadaran dan keberanian.
Jangan tunggu negara berubah dulu baru lo gerak.
Karena negara ini gak akan berubah kecuali lo yang gerak duluan.
Jangan tunggu generasi baru.
Jangan pasrah ke anak muda lain.
Karena yang baca ini sekarang — yang ngerasa gerah sekarang — itu lo.
Dan kalau lo diem, sistem bakal jalan terus.
Tanpa perlawanan.
Tanpa tantangan.
Tanpa alternatif.
Dan saat itu, sejarah bakal nulis lo sebagai bagian dari kerumunan yang pernah sadar… tapi milih tunduk lagi.
Revolusi bukan tentang ganti penguasa. Tapi tentang ganti cara kita megang kendali.
Sekarang tanya lagi ke diri lo: Kalau lo udah tau semua ini, masih mau diam?